Menyusun Kebahagiaan Sendiri di Tengah Kekurangan Diri
Di sebuah
kelas, seorang guru membagikan sebuah kertas mewarnai yang berisi gambar
pemandangan beserta satu kotak crayon kepada anak-anak murid TK-nya. Untuk
pembagian crayon, mereka tidak diberikan 12 jenis pinsil warna yang komplit.
Tapi paling banyak hanya 8 warna. Tiap anak mendapat pensil warna berbeda-beda.
Sengaja untuk memancing kreativitas anak.
Di antara
murid-murid tersebut, terdapat 2 anak yang spesial di antara mereka.
Kedua-duanya hanya memiliki warna hitam, putih, merah, kuning, dan biru. Kedua
anak tersebut berbeda sikapnya saat bekerja mewarnai kertas tesebut.
Salah
seorang dari mereka uring-uringan tidak mau mewarnai. "Bagaimana bisa
mewarnai?", pikirnya. "Gambar matahari yang ada pada kertas tersebut,
seharusnya diwarnai dengan warna oranye. Tapi aku tidak mendapati warna oranye
di kotak crayon yang dibagikan. Gambar pepohonan seharusnya diwarnai dengan
warna hijau. Tapi tidak ada warna hijau. Selain itu, tidak ada warna biru muda.
Yang ada warna biru tua. Padahal aku ingin langit diwarnai dengan warna biru
muda"
Anak
tersebut begitu idealisnya. Ia tidak bisa menerima kekurangan-kekurangan yang
ada. Akhirnya, alih-alih mewarnai, ia hanya merajuk diam tanpa melakukan apa
pun. Ia hanya bisa iri atas teman lain yang memiliki pinsil warna yang lengkap.
Anak yang
lain malah asyik mewarnai. Memang, warna yang tersedia tidak komplit. Tapi itu
tidak menghalanginya untuk mendapatkan keasyikan dari aktivitas mewarnai. Ia
cukup cerdas mengakali kekurangan warna tersebut. Untuk mewarnai gambar
matahari, mula-mula ia beri warna kuning. Lalu warna kuning itu ia timpa dengan
warna merah. Hasilnya, warna oranye yang cerah untuk matahari.
Begitu juga
untuk warna pepohonan, mula-mula ia beri warna biru, lalu ia campurkan dengan
warna kuning sehingga membentuk warna hijau. Lalu untuk warna langit, mula-mula
ia beri warna biru tua. Setelah itu ia goreskan pinsil warna putih sehingga
warna birunya sedikit memudar.
Saudaraku,
setidaknya itu menggambarkan penyikapan insan atas apa yang diterimanya. Ada
manusia yang sulit menerima kekurangan-kekurangannya. Ia menghabiskan waktunya
untuk mengeluh karena tidak memiliki apa yang orang lain miliki. Ia mengeluh
karena istri yang dimilikinya tidak cantik, atau gaji yang diterimanya tidaklah
memadai, atau pekerjaan yang digelutinya tidak menyenangkan, dsb.
Insan model
tersebut, adalah insan yang berkata, "Ah, andai gajiku lebih besar lagi,
tentu aku bisa berinfak". "Ah, andai istriku cantik, tentu mudah
untuk ghodul bashor." "Ah, andai pekerjaanku tidak terlalu sibuk,
tentu aku bisa menghafal Al-Qur'an."
Orang
seperti ini tidak bisa bahagia atas apa yang dimilikinya. Ia tidak mampu
menyusun sendiri kebahagiaan dirinya. Dalam cerita di atas, orang seperti ini
jauh berbeda dengan sikap anak yang kedua.
Bandingkan
dengan sikap anak yang kedua. Ia adalah profil orang yang mampu menyusun
sendiri kebahagiaan dirinya atas apa yang ia miliki. Ia tidak peduli dengan apa
yang tidak dimilikinya, dan tidak peduli atas apa yang orang lain miliki. Orang
seperti ini kebahagiaannya tidak bisa didikte oleh keterbatasan. Dengan apa
yang dimilikinya, ia mampu menciptakan kebahagiaan.
Kebahagiaan
terbentuk bukan tergantung dari keberadaan materi, tapi tergantung dari
keberkahan materi. Sebuah materi menjadi berkah manakala ia memberikan manfaat
bagi pemiliknya.
Aktivitas
orang tipe kedua juga tidak bisa didikte oleh keterbatasan. Apabila ia ingin
bersedekah tapi benar-benar tidak punya barang untuk disedekahkan, maka ia bisa
melakukan sholat dhuha, atau ia bisa menawarkan tenaganya untuk membantu orang
lain. Minimal, ia memiliki senyum untuk disedekahkan kepada orang lain.
"Bagi
masing - masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus
dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, Setiap tahmid adalah
sedekah, Setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan untuk melakukan kebaikan
adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan semua itu dapat
tercukupi dengan melakukan dua rakaat sholat Dhuha." (HR. Muslim)
Saudaraku,
susunlah kebahagiaan sendiri atas apa yang kita miliki. (Andaleh/
Islamedia.web.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar